Gerilyawan Serem dan Tapol Orde Baru
Diterbitkan : 5 April 2012 - 1:05pm | Oleh Joss Wibisono (Foto: Ahmad Taufik)
Orde Baru lahir sebagai rezim tapol. Begitu berkuasa, rezim otoriter ini sudah memenjara orang, bukan karena perbuatan, tapi karena keyakinan politik mereka. Ketika penjara-penjara Indonesia disesaki oleh tapol, Orde Baru mulai goyah. Pada saat itu ada juga yang bisa memetik kesempatan untuk belajar dari tapol-tapol ini.
Pengalaman bergaul dengan para tahanan politik, membuat wartawati Titi Supardi sadar penjara itu sangat membosankan. Untuk mengatasinya, bersama teman lain dia merencanakan pelbagai kegiatan khusus bagi tapol-tapol yang berada di bawah naungannya, tapol yang sering dikunjunginya.

TERKAIT:
Bibi dan saudara
"Misalnya acara Natal untuk Danang dan acara Lebaran untuk kawan-kawan yang beragama Islam," kata Titi tentang Danang Kukuh Wardoyo, salah seorang aktivis AJI, Aliansi Jurnalis Independen yang dipenjara oleh Orde Baru.
Kalau ada yang berulang tahun juga diselenggarakan pesta kecil di penjara. Setelah diputus oleh pengadilan, menurut Titi kawan-kawan yang menengok makin sedikit. Di sinilah muncul kebosanan, apalagi karena dua kali seminggu mereka hanya bertemu Titi.
Karena itu AJI merancang kegiatan khusus supaya kawan-kawan lain juga terus mengunjungi mereka. "Dan itu berhasil," lanjut Titi.
Titi juga tidak lupa mengajak aktivis asing untuk bezoek ke Cipinang. Misalnya peneliti perempuan Amnesty International, begitu juga teman-teman solidaritas dari Jepang. Untuk itu dia harus lapor ke pemerintah, juga supaya memperoleh izin masuk.
"Kan harus ada izin khusus," tegas Titi.
Untung dia sudah mengaku sebagai saudara Ahmad Taufik atau bibi Danang. Selain itu, Titi juga masih mengaku sebagai saudara sepupu Ditasari, ketika aktivis buruh ini dijebloskan ke penjara Tangerang. Dengan langkahnya, Titi Supardi yakin teman-teman Jepang bisa menengok Dita dan tapol lainnya.
Berbeda dengan Titi Supardi, Nugroho Katjasungkana, aktivis Timor Timur, justru merasa belajar banyak dari para tahanan politik asal Timor Timur. Karena itu ia bisa mengerti lebih jauh masalah Timor Leste. "Terus terang saya dapat lebih banyak daripada memberi. Dalam arti dapat banyak pengetahuan," tegasnya. Misalnya kalangan perlawanan Timor Leste menawarkan jalan damai yang disebut peace plan.
Menurut Nugroho, kita di Indonesia tidak tahu sama sekali. "Ini aneh," lanjutnya, "Ada tawaran perundingan damai untuk menyelesaikan masalah Timor Leste, tapi kita sama sekali tidak tahu!"
Gerilyawan serem
Dalam ingatan Nugroho, apa yang diketahui orang Indonesia tentang perlawanan Timor Timur hanya berkisar tentang sekelompok orang bersenjata di hutan. Mereka melancarkan pemberontakan yang oleh pemerintah Jakarta disebut sebagai gerakan pengacau keamanan, GPK.
"Jadi bayangan kita, mereka ini maunya hanya bertempur, hanya berperang," kata Nugroho.
Ternyata mereka mengajukan rencana damai kepada pemerintah Indonesia. Tapi kita tahu, Nugroho berlanjut, pemerintah Indonesia masa bodoh. "Jadi gambaran saya sendiri tentang perjuangan orang Timor Leste juga berubah," tegas Nugroho Katjasungkana.
Sebelum itu, dia membayangkan Xanana sebagai gerilyawan yang serem, macho dan seterusnya. "Ternyata orangnya sangat lembut," kata Nugroho, "Pikiran-pikiran yang tidak hanya tentang perang, tapi juga tentang damai dan tentang hal-hal yang lain, yang lebih luas," tambahnya.
Yang membuat Nugroho tidak habis pikir adalah bahwa ternyata para gerilyawan ini juga memikirkan bahwa Indonesia bisa kehilangan muka. "Artinya kalau Timor Leste merdeka begitu saja, Indonesia pasti kehilangan muka," jelasnya.
Karena itu mereka memikirkan cara untuk menyelamatkan muka Indonesia. "Misalnya mereka mengusulkan otonomi transisi," kata Nugroho lagi.
Kalah terhormat
Pada saat itu, Timor Timur tetap merupakan provinsi termuda Indonesia. Bahkan Indonesia memperoleh peluang selama sekian puluh tahun untuk terus berkuasa di Timor Timur. Dalam masa otonomi itu, Timor Timur memberlakukan kebebasan berpendapat dan diizinkan membentuk partai politik apapun, termasuk partai-partai yang pro-kemerdekaan.
Di ujung itulah baru akan dilakukan referendum. Hasil referendum ini, Indonesia akan bisa keluar dengan terhormat. Kalau kalah juga kalah terhormat. "Itu tidak pernah kita dengar dari media massa Indonesia. Sama sekali enggak ada!" Tegas Nugroho Katjasungkana.
Itu membuat dia makin mengerti persoalan Timor Timur, dan apa yang seharusnya dilakukan oleh Indonesia.
"Itu saya pakai untuk menjelaskan ke orang-orang lain, ke teman-teman mahasiswa dan kelompok-kelompok lain, bahwa masalah Timor Leste sebenarnya begini lho, bukan seperti yang dikatakan pemerintah Indonesia, tapi begini," ungkapnya.
Dan orang mulai tahu pemerintah Indonesia itu sebenarnya bohong tentang Timor Leste. Tapi yang benar itu seperti apa, mereka tidak tahu.
Waktu itu, dalam kenangan Nugroho, di Indonesia gerakan pro-demokrasi semakin meluas, meskipun demo-demo masih belum banyak. Selain memperjuangkan demokrasi, mereka juga ingin tahu banyak hal yang sebelumnya disembunyikan oleh Orde Baru.
Misalnya Timor Leste sudah memproklamasikan kemerdekaan sebelum invasi. Kemudian ketika perang terus berkelanjutan, kalangan perlawanan mengusulkan jalan damai untuk menyelesaikan perang. Ini semua lebih banyak digunakan untuk menyadarkan khalayak bagaimana duduk masalah Timor Timur sebenarnya.
Keluar dari NKRI
Sekarang zaman sudah berubah. Orde Baru juga sudah berlalu. Tokoh-tokoh Aliansi Jurnalis Independen yang dulu dipenjara sekarang sudah bebas, demikian pula kalangan Timor Timur, bahkan mereka sekarang sudah punya Timor Leste yang merdeka, keluar dari NKRI.
Kemudian Aceh sudah diperintah oleh kalangan GAM dan tetap berada dalam NKRI.
Tapi, sudahkah Indonesia yang disebut-sebut lebih demokratis itu bebas dari tahanan politik? Sudah tak ada lagikah orang yang dipenjara bukan karena kejahatan tapi karena keyakinan politiknya?
Sayang pertanyaan ini tak bisa dijawab dengan ya yang sederhana. Karena di Maluku dan di Papua masih ada saja tahanan politik, mereka yang dipenjara karena keyakinan politik dan bukan karena perbuatan kriminalnya.

No comments:

Post a Comment